(Review Buku) Mengapa Everybody Lies Karya Seth Stephens-Davidowitz Patut Anda Baca

Syahid Muhammad
5 min readJun 17, 2019

--

Background image: Unplash/ Neven Krcmarek

Buku terjemahan terbitan Gramedia Pustaka Utama berjudul Everybody Lies: Big Data dan Apa yang Diungkapkan Internet tentang Siapa Kita Sesungguhnya, menarik perhatian saya sejak pertama kali melihatnya. Tentu saja selain karena judulnya yang “menggoda”, tema mengenai big data juga menjadi topik yang menarik minat saya belakangan ini.

Dalam pemahaman saya sebagai orang awam, big data merupakan sebuah konsep untuk menggambarkan besarnya data dengan segala kompleksitasnya di era digital saat ini. Setiap aktivitas kita di internet sesungguhnya menyumbang data baru. Menulis status Facebook, mengunggah foto di Instagram, chat, membeli barang di internet, memesan ojek online, browsing, menyalakan GPS dan lain-lain, semuanya terekam dan tersimpan dalam sebuah tempat yang disebut “cloud”.

Saya sering membaca big data dalam konteks pemanfaataannya untuk bisnis, tapi nyaris tidak pernah terbayang bisa dipakai untuk mengungkap sisi-sisi terdalam manusia seperti yang dilakukan Seth dalam buku ini. Penulis yang merupakan ilmuwan data di Google, menggunakan jejak digital orang di mesin pencari untuk mengungkap apa yang mereka tidak katakan kepada keluarga, teman, pasangan, atau lembaga survei.

Yang terakhir ini menarik karena Seth menunjukkan bahwa orang seringkali tidak jujur ketika memberikan informasi pada lembaga survei. Utamanya berkaitan dengan sesuatu yang private, seperti; seberapa sering Anda menggunakan kondom saat berhubungan seks? berapa banyak perempuan yang berniat menggugurkan kandungannya? atau apakah Anda cenderung seorang yang rasis? Di sinilah big data menunjukkan peranannya.

Kekuatan Big Data

Kekuatan Big Data tentu saja pada besarnya data yang diinput secara sadar atau tidak sadar (berupa perilaku pengguna) di internet yang bisa dianalisa. Seth mengatakan bahwa besarnya data pengamatan ini memungkinkan ilmuwan sosial untuk mencermati bagian-bagian kecil data tersebut dan menemukan fakta yang lebih menarik daripada yang biasanya telah diungkap. Ia banyak mengemukakan studi kasus dalam buku ini yang membuat saya berdecak kagum, atau sekaligus ngeri.

“Big data memungkinkan kita mencermati lebih dekat segmen kecil suatu himpunan data untuk mendapatkan wawasan baru tentang siapa kita.”

Ketidakjujuran orang dalam survei, sering kali membuat bingung ilmuwan sosial. Data yang dihasilkan pun seringkali meragukan, apakah cukup menggambarkan realitasnya atau tidak. Sebaliknya, kata Seth, orang lebih jujur dan terbuka menanyakan atau mengungkapkan perasaaannya pada Google.

“Kekuatan Dalam Google adalah bahwa orang memberitahu mesin pencarian raksasa itu hal-hal yang mungkin tidak mereka katakan kepada orang lain.”

Seth, melalui Google Trends dan Google Adwords, tools yang pasti sudah akrab dengan mereka yang berkecimpung di dunia digital, mengungkap fakta-fakta yang, menurut istilah Jawa; “ngoceki awake dewek” (membedah diri sendiri).

Dua tools ini biasanya dipakai untuk mencari tahu apa yang paling banyak dicari orang untuk kemudian dijadikan basis strategi digital marketing. Seperti, model pakaian apa yang paling banyak dicari orang, topik apa yang sedang ramai dibicarakan dan sebagainya.

Dari kata-kata kunci itulah kemudian dapat diungkap gambaran yang lebih wajar dari suatu studi kasus. Misalnya Seth mengungkap hubungan pernikahan tanpa seks di Amerika ternyata merupakan hal yang paling banyak dikeluhkan pasangan Amerika. Lebih besar dari persoalan-persoalan rumah tangga lainnya.

Tetapi perlu diingat, data pencarian di sini merupakan kumpulan informasi kolektif, yang tercatat karena begitu banyaknya pola pencarian yang sama. Jadi data bersifat anonim dan tidak meneliti pengguna satu persatu (meski kita tidak pernah tahu apa saja yang sesungguhnya bisa dilakukan Google 😊)

Keyword Rasis dan Keterpilihan Donald Trump

Dengan mengaitkannya dengan data-data lain, Seth mampu menjelaskan hasil pencarian orang Amerika di mesin pencari dengan fakta di lapangan. Dalam salah satu pembahasannya, Seth memaparkan adanya korelasi antara negara-negara bagian di AS yang melakukan pencarian keyword bernada rasis (seperti niggers, i hate niggers , stupid niggers ) dengan keterpilihan Donald Trump di wilayah itu.

Negara bagian di mana volume pencarian keyword rasis sangat tinggi menyumbang suara yang besar bagi presiden yang tak sungkan mengungkapkan pernyataan rasial ini. Hasil pencarian itu ternyata berkaitan pula dengan tertekannya suara Barack Obama di sejumlah tempat pada pemilu sebelumnya. Jadi, apakah persoalan rasisme masih jadi persoalan besar bagi Amerika Serikat?

Saya pun jadi tergoda untuk melakukan hal yang sama dalam konteks kita di Indonesia saat ini, hehehe. Saya mulai dari suatu pertanyaan.

“Apakah pencarian kata kunci calon presiden terbanyak di suatu provinsi berkaitan dengan keterpilihannya di wilayah tersebut?”

Saya mulai membuka Google Trends. Mengetikkan kata Prabowo Subianto dan Joko Widodo sebagai pembanding dengan wilayah pencarian seluruh Indonesia dalam rentang waktu setahun terakhir. Kemudian, saya mencari peta hasil Pilpres 2019 yang telah dirilis oleh KPU. Hasilnya, ada hubungan antara provinsi yang memiliki tingkat pencarian terhadap salah satu capres dengan kemenangannya di wilayah itu. Meski, tentu saja ada juga yang tidak sama.

Saya bahkan bisa melihat peta hasil pencarian tersebut sekilas mirip dengan hasil KPU. Sayangnya, entah kenapa ketika saya mencoba lagi, Google tidak menampilkan perbandingannya sehingga tidak bisa saya lampirkan di sini.

Saya kemudian melanjutkan keisengan ini dengan mencari tahu; provinsi manakah yang tertarik dengan isu Jokowi PKI dan apakah itu berkaitan suara Jokowi di wilayah itu? Heheheue…hasilnya bisa dicoba sendiri. Tentu saja, apa yang saya lakukan perlu kajian-kajian yang lebih serius lagi.

Layak Dibaca

Buku ini, menurut saya, bisa menjadi pengantar bagi yang tertarik dengan big data. Ditulis dalam gaya bahasa yang ringan dan disertai banyak studi kasus. Awalnya saya membayangkan akan ada begitu banyak tabel dan angka yang memusingkan, tetapi untungnya tidak.

Selain Google, Seth juga menampilkan bagaimana data-data dari sumber lain seperti sosial media atau bahkan data non digital yang bisa dipakai untuk mengungkap banyak hal. Kuncinya, menggunakan pendekatan yang baru dan kreatif pada data.

Sebagian kajian yang dibahas dalam buku ini, tidak menggunakan himpunan big data sama sekali, melainkan hanya menggunakan pendekatan yang baru dan kreatif terhadap data, pendekatan-pendekatan yang sangat penting di era yang dibanjiri informasi.

Dalam beberapa tahun terakhir, big data menjadi topik yang banyak dibicarakan berkaitan dengan teknologi. Penguasaan terhadap data konon menjadi penentu bagi industi di masa depan. Bukan untuk mengorek-orek keburukan orang lain, tetapi untuk memahami lebih banyak hal sehingga kita bisa menciptakan sesuatu lebih yang baik.

Dan Seth, menunjukkan hal positif apa saja yang bisa dilakukan dengan big data dalam bukunya ini.

***
Thank you sudah berkunjung dan membaca artikel ini. Kamu bisa membaca artikel saya terkait data di sini atau artikel lainnya di sini.

--

--

Syahid Muhammad

Kadang baca, kadang nonton, kadang melamun. Sedang merantau di Jakarta.